Pages

Ads

30 July 2010

Ornamen Kesunyian

Teriakan Kemenangan dari Buku Ornamen Kesunyian-nya Yoyong Amilin

Sapere Aude!,
Itulah sejatinya yang diteriakkan Yoyong dalam bukunya. Sebuah teriakkan yang mencoba menggertak kehidupan pada kota dimana dia tinggal, atau dunia.

Kosmopolitan Yoyong adalah mencoba menegakan kediriannya, membawa sebaris kekuatan lokal sebagai bekal kearifan bagaimana mensiasati kota itu. Kota yang secara sadar menjadi bahan tulisannya sebagai identitas, mewakili keedanan namun sekaligus menjadi inspirasi baginya. Sebagaimana ia juga memiliki identitas sebagai anak desa.

Yoyong bermanuver dengan lepas, menegakan dirinya secara monumental, setidaknya inilah momentum awal kemenangan sebagai anak desa yang bergelut hidup di kota besar seperti Jakarta. Saya tahu benar bagaimana anak orang Sekayu (sebuah kabupaten di Sumatra Selatan, di bantaran Sungai Musi) ini bermanuver, mencari dukungan untuk mencoba menerbitkan buku tunggalnya dengan susah payah.

Kearifan lokal nyatanya bukan hanya persoalan menetralisir keedanan keadaan kota besar yang menjadi semburat wajahnya tetapi sekaligus membangun kemenangan. Menjadi orang desa di tengah pergaulan masyarakat kota besar bukan hanya mencoba membangkitkan matinya jati diri bangsa ---yang memiliki ajen inajen kebangsaan sebagai orang timur--- tetapi membangkitkan dirinya menjadi manusia unggul.



Budaya masyarakat kota besar yang mengagungkan evolusi sosial mendapatkan tantangannya. Yoyong mencoba menyuguhkan evolusi cinta yang menantang arus itu.

Bagai gerakan cahaya yang menghidupkan benda mati menjadi hidup serta keyakinan bahwa dalam setiap benda mati ada energi kehidupan yang Maha Mengatur, membawa setiap benda mati dan mahluk hidup terus berevolusi, sebagaimana pohon akan terus tumbuh jika berfotosintesa, apa jadinya kehidupan tanpa cahaya?.

dari apa yang terbisik indah, hutan pala dalam
legenda menggelembung puting cahaya
menapak jejak surya dalam tiap tanda eja,
mengikat janji di siguntang yang indah, dari
kuburan bersahaja kau menjelma kupukupu tiga
warna penghias altar pesta, dalam batubatu
tanya, dilarungan butir maya, di tiap ciuman
senja, di tebingtebing rimba, di tiap selipan
do'a, di rimbun pohon kata

: kembang kamboja merekah dalam dada

(Suluk Kamboja-Buku Antologi Ornamen Kesunyian)

Yoyong dalam segala tradisinya mencoba mengaitkan alam barjah sebagai penanda gerak laku lampah kehidupan, asal muasal kehidupan itu sendiri. Semacam cinta yang menghidupi segala benda. Cinta yang menggerakan dari kegelapan menuju terang, dari legenda menjadi sejarah, dari pelapukan tanah menjadi mineral, dari kuburan bersahaja menjadi kupu-kupu tiga warna. Seperti etape itulah puisi tak lain adalah gerakan dari alam semesta ke ide ke penciptaan dan kembali ke alam semesta.

Jelas sikap oriental ini menjadi semangat pencerahan, satu keyakinan yang pernah menjadi frame berpikir ala Horkhaimer, aufklarung objektif: akal budi bukan semata-mata instrumen untuk mengekalkan diri manusia melalui cerminan cara berpikir, tetapi cara pandang bagaimana dapat mengubah kehidupan, dengan melepaskan kekangan penindasan. Alih-alih sepakat dengan Rummi, Yoyong sangat menyadari bahwa pada akhirnya pencerahan ini haruslah berakhir pada kemenangan seorang manusia sebagai cerminan kesejatiannya.

Lahirnya buku Ornamen Kesunyian paling tidak adalah pertanda itu.

Pinunjul
Mencari cara bagaimana menjadi pinunjul dengan tradisi kelokalannya bukan hal mudah. Ia bisa jadi suatu saat harus membongkar pasang tradisi yang dipaksakan masuk kedalam sebuah mekanisasi modernisasi. Atau menyesuaikan tradisi, meluaskan pandangan agar menjadi inspirasi bagi modernisasi itu. Dan Yoyong mencobanya dengan cerdas dan getir bahkan tragis, memasukan satu dua patah kata yang mewakili tradisi ke dalam puisinya dimana sebagian besar penggalan puisinya membicarakan hiruk pikuk perkotaan bersama dengan beratnya beban kerinduan terhadap desa dimana ia dilahirkan.
Simaklah sajaknya berikut ini,

tubuhmu kerikil dan debu yang terbuat dari daki
orang desa, belum pernah terjamah aspal
kapitalis sedikitpun. setua ini entah telah berapa
banyak puisi yang kau tulis. tentang sisa
pembantaian jaman perang atau tentang
senandung pipit mencari makan. sinar mentari
yang menerpa putih debumu serupa saujana
yang dulu pernah kau impikan. di udara pagi
yang masih menahan gigil aku masih memahat
kata menjadikannya mobilan dan gasing juga
gigi palsu ayah
(Simpang Medang---Buku Antologi Puisi Ornamen Kesunyian)

Penyair mencoba menabrakan keadaan sekarang dengan tradisi atas masa lalu demi membangun sejarahnya sendiri. Tubuhmu kerikil dan debu yang terbuat dari daki orang desa, belum pernah terjamah aspal kapitalis sedikitpun. Sebuah ungkapan kerinduan yang menjadi harapan terbitnya inspirasi bagi laku lampah modernitas. Apa jadinya jika orang-orang desa yang dinarasikan Yoyong tergilas aspal kapitalis?, Sebuah kosakata yang sering kita dengar begitu mendarah daging diantara hiruk-pikuk kehidupan kota, terlebih kaum elite.

Berbeda dengan subtansi pada puisi Suluk Kamboja, dimana Sang Cahaya dapat menciptakan kupu-kupu tiga warna ---sebuah simbolisasi kemenangan dan maqam ketakwaan pada diri manusia---, dalam puisi Simpang Medang Yoyong justru meletakan sindrom "kekalahan" sebagai pertanda lahirnya sikap pesimisme.

aku tak tahu berapa detak jam lagi kau bisa
bertahan, hanya yang aku ingat cerita di
simpang itu pertama kali kakek melihat nenek
yang baru pulang menyadap karet juga di
simpang itu ayah pertama kali mengenal ibu
yang sedang belajar naik sepeda
(Simpang Medang---Buku Antologi Puisi Ornamen Kesunyian)

Yoyong menatap pesimisme keadaan orang desa yang berkeredep dalam mata kerinduannya, yang jauh disimpan dalam renungannya sendiri vis a vis kehidupan kota yang dihadapi. Di sini maka inspirasi itu berubah menjadi eksploitasi. Eksploitasi kelokalan. Namun meskipun begitu, Yoyong justru bukan penyair perkasa dapat mengekploitasinya dengan sempurna, Penyair justru terjerembab ke dalam satu keadaan dimana dia dan setumpuk tradisinya menjadi tragis.

di udara pagi
yang masih menahan gigil aku masih memahat
kata menjadikannya mobilan dan gasing juga
gigi palsu ayah

Penyair akhirnya memenangkan pertarungan dengan menjadikan bahasa berkuasa atas keadaan. Oleh karenanya penulis berani menilai, struktur ide puisi Yoyong adalah dari inspirasi ke eksploitasi ke inspirasi dan resikonya adalah determinasi, semata-mata pelaporan. Tapi dengan itu sejatinya dunia kepenyairan di tangan Penyair ini menjadi sempurna, toh sejatinya Puisi bukan solusi. Di situlah pada akhirnya Yoyong menjadi pemenangnya: puisi bergerak dari ide menjadi semesta raya di mana cita-cita dan harapannya dikaburkan. Secara otomatis membawa pembacanya pada usaha keras mencari subtansi dan tujuan yang ada didalamnya.

Mengingatkan kita pada Abu Dzar
Setelah tanggal 24/7 tadi buku puisi bertajuk "Ornamen Kesunyian" ini menghadapi hajatnya (lounching), maka teriakan Sapere Aude semakin nyaring terdengar, ya begitulah sejatinya Penyair ini berteriak penuh kemenangan, berani berpikir sendiri, bekerja sendiri, penuh gebrakan.

Teriakan yang muncul dari debar dada anak desa, yang tak berharap belas kasihan orang besar, lihatlah buku ini berdiri tanpa endorsment penyair dan tokoh besar dunia kepenyairan, bahkan beberapa puisinya hanya ditujukan kepada orang-orang yang belum populer betul dalam dunia kesusastraan, hanya ada nama Eko Putra dan Budhi Setiawan disana, nama-nama yang cenderung populer tapi masih menyiratkan orang muda dan baru di dunia kepenyairan (tanpa berniat sedikitpun berusaha mengecilkan kedua penyair besar diatas).

Akan tetapi bagaimanapun buku ini tetap memiliki harapan dapat menjadi gaung ketertindasan orang-orang desa diantara buku-buku yang memiliki pengantar orang-orang besar. Gaung kemenangan orang-orang desa yang hendak mengukir sejarah.

Saya berharap lahirnya buku ini dapat menjadi inspirasi bagi penyair muda lainnya yang menjadikan muatan lokal sebagai ajen inajen dan inspirasi kehidupan bangsanya ditengah-tengah muara zaman globalisasi yang semakin menantang.

Dalam desir suara kesunyian bahkan Abu Dzar datang dengan bertelanjang kaki dari suku Ghifar yang jauh dari hiruk pikuk kota Mekkah menemui Kanjeng Nabi Muhammad untuk bersama-sama berteriak parau menentang penindasan dari bentang perjuangan memberangus ketidakadilan suku Quraish hingga despotisme yang di tampilkan oleh Bani Umayyah.

Begitulah, meresapi buku Yoyong Amilin saya merasa diingatkan dengan Sahabat Nabi, Abu Dzar orang desa yang kukuh melawan ketertindasan. Semoga saja begitu.

Congratulation for you, Yoyong…
***
Cikarang, 18 Juli 2010
M Taufan

http://www.bookoope dia.com/daftar- buku/pid- 32160/ornamen- kesunyian. html

1 comment:

Rumah Cerita said...

nemu ini, sangat menyejukkan